Rabu, 18 Februari 2015

PELANGGARAN HAM

 Tragedi Trisakti

 adalah peristiwa penembakan, pada12 Mei 1998, terhadap mahasiswapada saat demonstrasi menuntutSoeharto turun dari jabatannya.Kejadian ini menewaskan empatmahasiswa Universitas Trisakti diJakarta, Indonesia serta puluhanlainnya luka.Mereka yang tewas adalah ElangMulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewastertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital sepertikepala, leher, dan dada.Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisisfinansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran kegedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR padapukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri--militer datangkemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerakmajunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru kearah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besarberlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukanpenembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade MobilKepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri PertahananUdara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam setaPasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, danSS-1. Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dansatu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.

Kronologi Tragedi Tanjung Priok Berdarah 1984 oleh Saksi Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani
 Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.

Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984

Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984 Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin. Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984 Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.

Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984

Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984

Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah.

Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.

Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.

Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.

Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.

Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih.

Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).

Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.

Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.






PERANG SAMPIT VS MADURA
Peristiwa Sampit ini menjadi sebuah kota yang digambarkan begitu menakutkan karena pertikaian etnis (ane katakan di sini "pertikaian etnis" murni...tidak ada faktor SARA lainnya).
Masyarakat Dayak adalah masyarakat tradisional yang memegang teguh harkat dan harga diri.
Sejak "peradaban" masuk ke dalam kehidupan mereka, budaya "kekerasan" yang dahulu secara turun-temurun mulai ditinggalkan.
Gambaran kasar tentang orang dayak secara umum, Orang Dayak adalah masyarakat tradisional dan mempunyai sifat pemalu terhadap
pendatang. Tidak jarang ane jumpai masyarakat Dayak yang lari bersembunyi dan hanya berani mengintip dari balik papan dinding rumahnya bila melihat orang asing datang mendekat.

Namun, masyarakat Dayak mempunyai sistem kekerabatan dan persatuan yang kuat antar masyarakat Dayak di seluruh pulau Kalimantan (termasuk Dayak di wilayah Malaysia).

Kenapa orang Dayak jadi beringas terhadap etnis Madura..?????
Banyak sebab yang membuat mereka seakan melupakan asazi manusia, baik sebab langsung maupun tidak langsung.
Masyarakat Dayak di Sampit seperti selalu "terdesak" dan selalu mengalah dan memang mereka lebih suka memilih mengalah.
Dari kasus pelarangan menambang intan di atas "tanah adat" mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan, sampai kampung mereka harus berkali-kali berpindah karena harus mengalah dari para penebang kayu yang terus mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus tersebut. Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar
disebabkan oleh aksi premanisme Dayak-Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap oleh aparat yang "katanya" penegak hukum.

Dalam keseharian Masyarakat Dayak, kehidupan mereka ternyata jauh dari anggapan kita yang mengira bahwa mereka itu beringas. Mereka ternyata sangat pemalu, menerima para pendatang, dan tetap menjaga keutuhan masyarakatnya baik religi dan ritual mereka. Mereka tidak pernah mengganggu para penebang kayu yang mendesak mereka untuk terus mengalah. Mereka tidak pernah
menentang anggota masyarakatnya yang ingin masuk agama yang dibawa oleh orang-orang pendatang. Mereka dengan ringan-tangan membantu masyarakat sekitarnya. Mereka tidak pernah membawa mandau, sumpit, ataupun panah ke dalam kota Sampit untuk "petantang-petenteng".

Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya "kekerasan" ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai "pendatang"). Sering terjadi kasus pelanggaran "tanah larangan" orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu "perang antar etnis Dayak-Madura".

Dayak dikenal berilmu tinggi hingga bisa membedakan suku Madura dengan suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari "serangan beringas" orang Dayak.
Banyak yang mengaitkan peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut dengan kepercayaan animisme Dayak (Kaharingan). Banyak
bukan saja masyarakat dayak Sampit yang berada di sana, tetapi juga ada 5 suku besar Dayak lainnya dari beberapa propinsi di pulau Kalimantan . Bayangkan, masyarakat Dayak yang sebelumnya bukan masyarakat mayoritas di sana, saat terjadi "perang" jumlah mereka berlipat ganda.
Dari riwayat budaya Dayak, kalau 6 suku tersebut sudah berkumpul, berarti
PERANG BESAR...!!

Pengungsian besar-besaran masyarakat suku lain (selain Dayak dan Madura) hanya dikarenakan rasa ngeri melihat "perang" dan lumpuhnya perekonomian
Sampit.
(Dayak) tidak menyerang orang (madura) yang sempat bersembunyi di dalam Masjid atau Gereja.

meski pada intinya suku Madura seperti sangat merasa berkuasa di sana..dan sempat ingin mengganti nama menjadi Sampang 2 (salah satu kota besar di Madura)


Seorang pemuda bersenjata mandau duduk tepekur di trotoar jalan, di
Depan Hotel Putra Sampit, Kotawaringain Timur, Kalimantan Tengah
(Kalteng). Mandau di tangannya masih meneteskan darah. Matanya tampak
berkaca-kaca, dan sesekali ia sesenggukan. Ahmad, pemuda beretnis
Banjar yang kebetulan rumahnya dekat dengan trotoar jalan itu,
memberanikan diri menghampiri.

Ahmad bertanya dalam bahasa Melayu, ternyata pemuda yang sedang
menangis itu tidak mengerti. Ia tak lain adalah warga Dayak pedalaman.
Lalu, terjadilah dialog dalam bahasa daerah. "Kenapa Anda menangis,"
tanya Ahmad. "Bagaimana tidak, saya telah melakukan pembunuhan," jawab
pemuda Dayak itu. Pemuda Dayak itu lantas nyerocos, kalau mengingat
pembunuhan yang dilakukannya, ia merasa kasihan pada warga Madura.
Tapi jika mengingat kelakuan etnis asal pulau garam itu, akunya, rasa
kasihannya menjadi hilang.

Pemuda itu hanyalah salah satu dari ratusan pemuda Dayak yangmelakukan penyerangan ke Sampit. Menurut budayawan Dayak Kalteng,Gimong Awan, memang banyak di antara warga Dayak yang mengikuti'peperangan' itu adalah pemuda berusia di bawah 30 tahun. Penyesalan setelah membunuh itu muncul, duga Gimong, karena telah habisnya
pengaruh 'isian' yang dilakukan oleh orang sakti Suku Dayak. Para
pemuda itu, sambungnya, kebanyakan adalah pemuda lugu yang tidak
jarang juga pengangguran.

Seperti disaksikan oleh banyak warga Sampit, sebelum melakukanpenyerangan, beberapa subsuku Dayak memang malakukan ritual. WargaDayak yang ikut ritual itu setelah diisi, kulitnya dicoba disayat satu per satu. Apabila ada yang luka, berarti ia tidak berbakat untuk mendapatkan 'kekebalan'. Bagi yang digores tidak berdarah, maka ia lulus sebagai inti dari pasukan perang Dayak."Isian itu dilakukan seperti di Pencak Silat semacam Satria Nusantara," ujarnya. Selepas 'isian' habis, tambahnya, mungkin mereka baru menyadari bahwa pembunuhan yang dilakukannya itu dilarang oleh agama yang mereka anut.Tapi, apa yang membuat suku Dayak di Kalteng begitu kalap dalam menghadapi warga Madura? Hampir semua warga dan tokoh Dayak yang ditemui Republika menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Ia mencontohkan salah satunya dalam soal tanah.Banyak warga Madura yang baru datang ke Kalteng meminjam tanah kepada warga Dayak. Di atas tanah itu kemudian dibangun rumah, atau kadang ditanami sayur mayur. Status tanah itu sebenarnya tetap pinjaman,warga Dayak tak menarik sewa. Setelah beberapa tahun, tanah itu pun diminta karena suatu keperluan. Tapi, bukan tanah yang dikembalikan,namun celurit yang justru dikeluarkan. "Ketika ditunjukkan surat kepemilikan tanah, orang Madura bilang, kamu punya suratnya, saya punya tanahnya," ujar Charles, yang mengaku kemenakan pahlawan Kalteng, Tjilik Riwut.Kasus seperti itu dinilai warga Dayak terlalu sering terjadi. Bukan hanya itu, tak jarang terjadi pembunuhan yang dilakukan warga Madura,namun aparat hanya menangkap sebentar kemudian melepasnya. 'Kenakalan'semacam itu tidak hanya terjadi di perkotaan. Sebagai pendatang, warga Madura juga berani masuk ke daerah pedalaman, seperti wilayah pertambangan. "Ada untungnya orang Madura mengungsi. Saya jadi aman dari perampokan," tutur Surti, pendatang dari Jawa yang tinggal didaerah pertambangan bersama suaminya.Di bidang ekonomi, warga Madura pun menguasai hampir semua sektor.Warga lokal hampir selalu kalah bersaing dalam memperebutkan lahan usaha. Di pelabuhan misalnya, sulit bagi etnis lain untuk menjadi buruh kasar sekalipun, tanpa restu oreng Madura. Konon, yang masuk kelahan mereka tanpa restu, bisa dibunuh.Dominasi di bidang ekonomi itu tampak jelas, karena setelah orang Madura dipaksa mengungsi, warga Sampit dan Palangkaraya kesulitan mencari sembilan kebutuhan pokok (sembako). Pasalnya, tak ada lagi pedagang eceran, karena semuanya mengungsi.Akumulasi permasalahan itu menjadikan warga Dayak sakit hati.Kejadian, 18 Februari 2001 hanyalah pemicu terjadinya perang besar-besaran. Pada hari itu terjadi pembunuhan terhadap empat orang keluarga Matayo di Sampit. Itu membuat marah warga Madura. Mereka mencari pembunuhnya yang diduga bersembunyi di rumah Timil, seorang warga Dayak. Mereka mengepung rumah keluarga Timil itu. Dalam situasi panas itu, apalagi warga Dayak dari rumah Timil keluar juga memegang mandau, aparat kepolisian datang. Mereka kemudian menangkap 38 tersangka dari suku Dayak yang diduga melakukan pembunuhan terhadap keluarga Matayo.Puas? Ternyata belum. Warga Madura tetap melampiaskan kemarahannya.Mereka mendatangi rumah Sengan, warga Dayak yang masih ada hubungan darah dengan Timil. Mereka bahkan membakar rumah itu. Naas bagi Timil.Dia bersama anak dan cucunya tewas terpanggang. Kemarahan warga Madura belum berhenti. Hari itu, mereka setidaknya melakukan pembakaran terhadap 14 rumah dan 10 kendaraan bermotor. Sampai esok harinya>(19/02), warga Madura menguasai kota Sampit. Mereka memburu warga Dayak. Mereka keliling kota dengan membawa clurit, baik dengan jalan kaki maupun memakai kendaraan bermotor. Ada beberapa spanduk yang dipasang, di antaranya "Sampit, kota Sampang II".Tiga orang Dayak tewas dalam insiden ini. Pengungsian warga Dayak,Jawa, Banjar, dan Tionghoa mulai terjadi. Rumah jabatan bupati Kotawaringin Timur mulai dipadati pengungsi. Ribuan orang mengungsi ke Jawa dengan KM Binaiya. Entah siapa yang mengontak, mulai 20 Februari 2001, warga Dayak dari luar kota Sampit, termasuk dari pedalaman,menyerbu Sampit. Pertempuran sengit pun terjadi. Warga Madura keteter.Warga Dayak membakar dan merusak rumah warga Madura. Penghuninya pun diburu. Pemenggalan kepala mulai banyak terjadi. Warga Dayak ganti menguasai kota.Esoknya (21/2), perburuan Dayak masih terjadi. Malah wilayah pencarian kian meluas, keluar dari kota Sampit. Sementara perlawanan warga keturunan Madura kian melemah. Mereka lebih memilih mengungsi, atau lari ke hutan. Kantor Pemda setempat menjadi pilihan pengungsian yang dipandang paling aman. Hari-hari berikutnya, langkah 'pembersihan'masih terjadi. Baru pada Rabu (28/2) situasi berangsur tenang, meski tetap saja ada aksi pembakaran di sana sini. Pun, jejak kerusuhan berupa mayat --sebagian besar tanpa kepala-- masih berserakan disungai-sungai. Bau anyir mayat menyengat hidung.Warga Sampit meyakini korban tewas tanpa kepala mencapai lebih dari 1.000 orang. Dalam budaya Dayak memang dikenal istilah ngayau,eksekusi dengan memenggal kepala lawan. "Budaya itu sebenarnya telah dihentikan dengan adanya perjanjian Tumbang Anoy (letaknya kira-kira 300 KM timur Palangkaraya) pada 1884," ungkap Gimong.Dalam sejarah Dayak pun, kata dia, jarang sekali ada ngayau yang mencapai angka ratusan atau bahkan ribuan. Tapi, ujar Gimong, pernah ada satu ngayau besar-besaran sebelum peradaban Islam menyentuh Kalimantan. "Kejadian itu disebut Asang Paking Pakang," tuturnya.Dalam kejadian itu, warga Dayak di hulu sungai-sungai besar menyerang secara besar-besaran warga Dayak di hilir sungai. "Beribu-ribu pasukan Dayak hulu, seperti tikus, melakukan penyerangan," kisah Gimong."Dayak hulu merasa kelakuan Dayak hilir sudah keterlaluan. Mereka sakit hati karena banyak anggota kelompok mereka yang dikayau."Dalam penyerangan itu, tak peduli anak-anak atau perempuan, di- kayau.Asang memang berarti pembunuhan berskala besar. Ketemu perahu,dihancurkan. Dapat ternak juga di sikat. Bahkan, dapat kuburan pun mereka bongkar dan hancurkan. Melihat pola dan jumlah korban dalam tragedi terakhir di Sampit, Gimong menilai mirip dengan Asang Paking Pakang. "Tragedi Sampit adalah Asang Paking Pakang jilid dua,"katanya. Tapi, dalam pandangannya, kejadian itu adalah kemunduran 100 tahun bagi suku Dayak.












































HAM (Hak Asasi Manusia) adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. HAM Sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Sebagai warga negara yang baik kita harus menjunjung tinggi nilai HAM tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM merupakan suatu hal yang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak Asasi Manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar Hak Asasi Manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan atau tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu contoh pelanggaran HAM di Indonesia adalah berupa kasus bom Bali.
Tragedi bom Bali I yang merenggut 202 nyawa dan 209 lainnya cedera, tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari negara lain. Korban terbanyak adalah warga Australia yang sedang berlibur di Bali. Hal ini juga sempat membuat hubungan Indonesia dengan Australia retak karena pemerintah kita tak kunjung berhasil mengeksekusi mati pelaku peledakan bom di Bali tersebut.
Sebenarnya, orang-orang yang terlibat dan sudah dihukum dalam kasus bom Bali I adalah korban yang sia-sia. Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah namun dipaksa untuk mengakui perbuatan yang sebenaranya tidak mereka lakukan. Pelaku dari bom Bali I sebenarnya tidak akan pernah dapat diungkapkan, karena menurut saya pelaku yang sebenarnya adalah bukan orang Indonesia.
Beberapa waktu sebelum meledaknya bom Bali I, Menteri Pertahanan Amerika Serikat pernah mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia adalah tempat yang paling potensial sebagai tempat bersembunyinya teroris. Pernyataan ini langsung dibantah secara keras oleh Presiden RI yang waktu itu dijabat oleh Ibu Megawati Soekarno Putri. Beliau menyatakan, bahwa Indonesia tidak pernah bersahabat dengan teroris. Teroris tidak akan pernah dapat bermukim dengan tenang di Indonesia. Untuk membuktikan bahwa pernyataan Menteri Pertahanan Amerika Serikat itu benar, maka Amerika mengirimkan orang-orangnya ke Indonesia untuk meneror bangsa Indonesia dengan bom yang maha dahsyat yaitu di daerah Bali. Siapakah sebenarnya pemilik bom jenis ini? Apakah mungkin seorang Imam Samudra atau para tersangka lain memiliki bom jenis ini?
Jika Imam Samudra adalah benar pelaku bom Bali I maka tidak akan pernah ada manusia sebodoh Imam Samudra yang sepertinya dengan sengaja meninggalkan KTP nya di TKP. Bayangkan jika anda seorang pencuri, mungkinkah anda tinggalkan jejak anda di rumah orang yang anda curi. Apalagi ini jelas jejak yang sangat akurat, KTP. Saya rasa tidak ada orang yang akan melakukan hal sebodoh itu. Jika Imam Samudra adalah seorang teroris maka sudah barang tentu Imam Samudra tak akan melakukan hal seceroboh itu dengan meninggalkan KTP nya di TKP. Mungkinkah KTP terjatuh dari dalam dompet sementara dompetnya tidak? Mungkinkah Imam Samudra masuk ke Sari Club dan memasang bom di dalamnya?
Saya yakin dan percaya Imam Samudra adalah orang Islam yang taat beragama. Tidak mungkin membawa bom ke dalam Sari Club. Setelah saya berpikir, saya lebih sependapat dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang menyatakan bahwa pelaku pemboman itu adalah CIA (Central Intelligence Agency). Tidak mungkin orang Indonesia memiliki bom jenis TNT kala itu. Orang Indonesia kala itu hanya mampu membuat bom rakitan yang ledakannya cuma bisa ngagetin kuda. Tidak mungkin dapat mengejutkan dunia. Jadi jelaslah sudah bahwa para pelaku yang sudah dihukum bukan pelaku yang sebenarnya.
Lalu mengapa kepolisian RI menangkap dan menjebloskan Imam Samudra ke dalam penjara? Apakah hal ini dilakukan semata-mata untuk sekedar menyelamatkan muka Indonesia dari pandangan miring Internasional. Jika Indonesia tidak dapat mengungkap kasus ini secara cepat, bayangkan, betapa malunya pemerintah kita jika tidak dapat mengungkapkan kasus ini. Mungkin karena itu semua maka dicarilah seorang kambing hitam yang paling pantas untuk dituduh sebagai pelaku. Tapi sialnya, pemerintah Indonesia terpengaruh oleh pengaruh Amerika yang sangat kuat bahwa teroris pastilah orang Islam. Maka ditangkaplah Imam Samudra yang kebetulan KTP nya ditemukan di TKP. Hal ini sangat tidak sesuai dengan HAM  yang ada di Indonesia
Untuk mengatasi kasus yang terjadi tersebut, menurut saya seharusnya perlu penyelesaian terhadap berbagai konflik di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan yang melanggar Hak Asasi Manusia, baik oleh sesama kelompok masyarakat yaitu dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh. Hukum di Indonesia harus ditegakkan, sistem peradilan harus berjalan dengan baik dan adil, para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepadanya dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat pencari keadilan, memberikan perlindungan kepada semua orang dalam rangka menegakkan hukum. Selain itu, perlu adanya kontrol dari masyarakat dan pengawasan dari lembaga politik terhadap upaya-upaya penegakan Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh pemerintah.






Kasus Pembantaian di Mesuji

SRIPOKU.COM, JAKARTA - Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengatakan kasus pembantaian yang dilaporkan Rabu (14/12/2011) siang tadi oleh Lembaga Adat Lampung, perkaranya sudah selesai. Polisi yang membawa senjata sudah diproses di peradilan.

"Dua polisi yang membawa senjata sudah diproses di peradilan," ujar Kapolri di gedung DPR, Jakarta, Rabu (13/12/2011).

Meski begitu kata Kapolri tragedi pembantaian terjadi di dua tempat. Pertama yang ditangani oleh Polri terkait pembantaian di wilayah Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan dan kasus di Kabupaten Mesuji, Lampung sendiri.

Menurut Kapolri kejadian di wilayah Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan itu kejadian tanggal 21 April 2011. Di Lampung, Kabupaten Mesuji, tanggal 11 November 2011.

"Kalau melihat yang kami laporkan kejadiannya berbeda sehingga tayangan tadi memang ada di wilayah Mesujii, wilayah Ogan Komering Ilir. Kedua wilayah ada dalam satu batas wilayah yang berdekatan," jelasnya.

Kapolri mengatakan, kejadian di Kecamatan Mesuji, Sumsel yang berkaitan dengan sengketa lahan tanaman sawit tersebut sudah dimediasi oleh pemerintah daerah setempat.

Kejadian pengeroyokan tersebut sudah diselesaikan oleh Kapolda Sumsel dan telah ditetapkan 6 tersangka.

"Ada kejadian pengeroyokan yang menyebabkan meninggal dunia, itu sudah diselesaikan. Kapolda sudah datang ke TKP dan sekarang sudah ada 6 tersangka yang menjalani peradilan. Jadi, masih dalam proses peradilan, tinggal menunggu hasil sidang peradilan," ujarnya.

Sementara itu, kejadian di wilayah Mesuji, Lampung yang berkaitan dengan sengketa lahan, Kapolri mengatakan ada masyarakat yang disandera oleh masyarakat.

"Saat polisi mendatangi tempat kejadian, di tengah jalan polisi dicegat oleh masyarakat," pungkasnya.






Fuad Muhammad Syafruddin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Udin
Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab dipanggil Udin (lahir di Bantul, Yogyakarta, 18 Februari 1964 – meninggal di Yogyakarta, 16 Agustus 1996 pada umur 32 tahun) adalah wartawan Harian Bernas, Yogyakarta, yang dianiaya oleh orang tidak dikenal, dan kemudian meninggal dunia. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Ia menjadi wartawan di Harian Bernas sejak 1986.
Selasa malam, pukul 23.30 WIB, 13 Agustus 1996, ia dianiaya pria tak dikenal di depan rumah kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta. Udin, yang sejak malam penganiayaan itu, terus berada dalam keadaannya koma dan dirawat di RS Bethesda, Yogyakarta. Esok paginya, Udin menjalani operasi otak di rumah sakit tersebut. Namun, dikarenakan parahnya sakit yang diderita akibat pukulan batang besi di bagian kepala itu, akhirnya Udin meninggal dunia pada Jumat, 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB.
Sejak Udin mengalami koma hingga rentang waktu yang cukup panjang, hampir seluruh media massa meliput peristiwa yang menimpa Udin.







KASUS MARSINAH

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993.

Sebelum diketemukan mayatnya tanggal 9 Mei 2002 di Dusun Jegong Kec. Wilangan Nganjuk, Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa tersebut. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain; terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo, Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Namun mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 2002.

Penemuan mayat Marsinah, telah menimbulkan tanda tanya besar apakah kematiannya terkait dengan unjuk rasa di PT. CPS atau sekedar pembunuhan biasa. Oleh karenanya, pada tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Dalam persidangan sampai dengan tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa"

Keterlibatan pihak Kodim Sidoarjo dalam penanganan unjuk rasa di PT. CPS dirasakan telah melampau wewenang sebagai aparat teritorial sehingga menyulut berkembangnya berbagai issue yang langsung ataupun tidak langsung telah menimbulkan sorotan masyarakat bahwa "ada keterkaitan aparat teritorial dam kasus pembunuhan Marsinah".

Kasus Pembunuhan Marsinah sampai saat ini belum pernah tuntas penyelidikannya, pelakunya masih bebas berkeliaran menghirup udara segar tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hukuman terhadap pelakunya memang tidak mungkin menghidupkan kembali Marsinah, tetapi dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hukum.



KETERLIBATAN KOMNAS HAM DALAM UPAYA MENGUNGKAP KASUS PEMBUNUHAN MARSINAH

Setelah terjadinya kasus pembunuhan terhadap marsinah, Komnas HAM telah menerima berbagai laporan dan pengaduan. Oleh karenanya, sejak awal Komnas HAM terlibat aktif dalam upaya pengungkapan kasus pembunuhan Marsinah. Tercatat pada tahun 1994, Ketua Komnas HAM saat itu, Bapak Ali Said, telah mengeluarkan Surat Perintah Nomor 10/TUA/III/94. Surat Perintah itu diberikan kepada Ali Said, SH, Marzuki Darusman,SH, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH, Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH, Drs. Bambang W. Soeharto, Prof. Dr. Muladi, SH, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Prof. Dr. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA, Clementino Dos Reis Amaral, H.R. Djoko Soegianto, SH dan Soegiri, SH selaku Tim Pencari Fakta. Tim Pencari Fakta diperintahkan untuk segera ke Surabaya dan tempat-tempat lain yang diperlukan guna mengadakan pengecekan dan sekaligus berusaha untuk mengetahui siapa-siapa yang sebenarnya terlibat dalam kasus pembunuhan Marsinah.

Selanjutnya pada tanggal 16 Juli 1999, Tim Komnas HAM yang terdiri dari Koesparmono Irsan, Soegiri, PL. Tobing dan Sriyana bersama-sama pejabat dari Departemen Tenaga Kerja kembali melakukan kunjungan dinas ke Surabaya dengan tujuan untuk berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait di Jawa Timur dalam upaya pengungkapan kasus pembunuhan terhadap Marsinah. Kunjungan kerja ini merupakan perwujudan saran Menteri Kehakiman agar dibentuk Tim Khusus yang terdiri dari Departemen Tenaga Kerja dan Komnas Ham untuk menyelesaikan kasus Marsinah. Selain itu, Komnas HAM secara aktif telah meminta Polda Jawa Timur maupun Pomdam Jawa Timur untuk menindaklanjuti hasil temuan Polda serta menyarankan pembentukan Tim gabungan yang terdiri dari Polri, Pomdam dan kejaksaan.

Awal bulan Mei 2002, sidang pleno Komnas HAM telah memutuskan akan membuka kembali kasus Marsinah, seorang buruh PT.Catur Putra Surya di Surabaya yang dibunuh oleh sekelompok orang tak dikenal. Alasan Komnas HAM membuka kembali kasus ini adalah telah ditemukannya bukti-bukti baru yang sebelumnya tidak muncul. Oleh karena itu tanggal 20 Mei 2002 kemarin Komnas HAM telah mengirim Tim Penyelidiknya ke Surabaya yang dipimpin oleh Bambang W. Soeharto didampingi oleh Samsudin dan Nur Anwar untuk melakukan penyelidikan lanjutan.

Sumber: Komnas HAM










Terbunuhnya Munir

Kasus pembunuhan Munir masih menggantung hingga delapan tahun sesudahnya.
Peringatan 8 tahun kematian pejuang HAM Munir Said Thalib di gelar di Jakarta dan berbagai kota besar lain di Indonesia diikuti oleh para aktivis dan korban pelanggaran HAM.
Munir tewas diatas pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan ke Belanda pada 7 September 2004 lalu, hasil otopsi menemukan racun arsenik dalam tubuh Munir.
Berita terkait
Hanya satu orang dinyatakan telah bersalah melakukan pembunuhan terhadap Munir, mantan pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto. Ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.
Selain Polly, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Mayjen (Purn) Muchdi Pr juga diproses di pengadilan, tetapi mendapat vonis bebas.
Kejaksaan Agung sejauh ini mengabaikan PK vonis bebas Muchdi bahkan setelah kuasa hukum Munir mengajukan novum baru seperti disyaratkan.
Para aktivis menilai dalang pembunuhan Munir masih belum diproses secara hukum dan dalam kasus Pollycarpus mereka menganggap mustahi yang sebelumnya tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan Munir melakukan pembunuhan begitu saja.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di awal pemerintahannya pernah mengatakan bahwa kasus Munir merupakan ujian bagi bangsa Indonesia dan apabila pemerintah tidak mampu menuntaskannya, maka Indonesia belum bergerak dari kelam sejarah masa lalunya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar